Rabu, 15 April 2009

Berkaca Dari Air

Sabtu, April 11, 2009

Pada aspek fiqhiyyah, air terbagi menjadi tiga, yaitu : air thahir muthahhir, air thahir ghairu muthahhir dan air najis. Air thahir muthahhir artinya air yang suci dan mensucikan, seperti air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju, air danau dan sejenisnya yang masih dalam wujud kemurniannya. Biasa pula disebut dengan air mutlak, Semua air tadi suci dan dapat untuk mensucikan baik hadas maupun najis.

Sebagian ulama memasukkan air musta’mal dalam kategori ini. Tetapi Imam Syafi’i tidak sependapat. Sedangkan air thahir ghairu muthahhir adalah air yang suci, tapi tidak dapat digunakan untuk mensucikan hadas atau sesuatu yang terkena najis. Hal ini karena air tersebut sudah kehilangan kemurniannya. Hilangnya keaslian tersebut bukan karena terkena najis, tetapi akibat bercampumya dengan sesuatu yang sama-sama suci. Misalnya, air teh, kopi, susu dan seterusnya. Air-air tersebut suci, halal kita minum, tapi tidak mensucikan artinya meski air susu dan kopi adalah suci tapi tidak bisa dipakai untuk berwudhu’ atau mandi.

Adapun air najis adalah air yang dengan sendirinya memang najis seperti air kencing, nanah, dandarah, atau air yang mengandung kotoran karena terkena najis. Air macam ini mutlak tidak dapat digunakan untuk bersuci, baik untuk berwudhu’, mandi janabah atau mencuci pakaian.

Analisis Filosofis

Banyak orang mengkaitkan kehidupan manusia dengan air. Meski air tidak bernyawa, namun kehadirannya tidak dapat dipisahkan dengan makhluk yang bernyawa. Air mampu memelihara nyawa manusia, tapi juga dapat menghilangkannya. Karena air, manusia dan tumbuh-tumbuhan dapat menebarkan pesona keindahan bagi kehidupan. Tapi, bila manusia salah bersikap terhadap air, ia dapat mendatangkan bencana. Dalam hal ini, air tampak hidup, dan sikap hidupnya bergantung kepada prilaku manusia kepadanya.

Pada saat yang sama sesungguhnya manusia memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dengan air. “…mula-mula manusia berada dalam kematian (ketiadaan), kemudian Allah berikan kehidupan…“. (QS. Al-Baqarah [2]: 28). Seperti air, semula diam dan tampak mati, lalu Allah gerakkan seakan-akan ia hidup dan kemudian memberi kehidupan, namun tidak jarang menghadirkan bencana bila manusia salah pengertian.

Dalam kehidupan barunya, sebagaimana air, manusia adalah suci dan diobsesikan oleh Allah untuk mensucikan alam dalam tugas kekhilafahan (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Dalam perjalanan selanjutnya, hanya sebagian manusia yang mampu menjaga kesuciannya dan menebar potensi kesucian itu pada alam. Usia yang merupakan anugerah Tuhan akhirnya bermanfaat, tidak saja untuk pribadinya, tetapi banyak yang ikut menikmatinya.

Manusia seperti ini ibarat air thahir muthahhir, yang takdirnya mengalir untuk memberi kehidupan bagi orang lain. la suci, juga mensucikan. la baik secara individu, tapi baik pula secara sosial. Sikap peduli, perhatian dan gemar menyantuni senantiasa melekat, sehingga setiap kata dan perbuatan senantiasa mampu mengisi kebutuhan banyak orang. la adalah dambaan semua manusia. Kelahirannya membuat senyuman dan kematiannya mengakibatkan tangisan. la adalah pahlawan, berbuat tanpa pamrih dan harapan. Manusia tingkat ini adalah Nabi, Rasul, pejuang dan manusia biasa seperti kita, yang mau merintis jalan kebaikan. Meski tidak banyak, mereka selalu ada, dan harus diupayakan adanya disepanjang sejarah.

Di sisi lain, banyak orang gagal menjadi yang ideal seperti mereka. Sebagian besar orang berfikir untuk dirinya sendiri. Mereka sadar akan kesucian dirinya ketika lahir, tetapi enggan membagi kesucian itu kepada orang lain. Mereka baik, tetapi hanya untuk dirinya, bukan untuk orang lain. Orang-orang macam ini biasanya memiliki telinga tapi kurang bisa mendengar, memiliki mata tapi kurang bisa melihat dan memiliki lidah tapi kurang bisa bersuara. (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 18). Di akhirat, Allah akan menyiksa orang ini bukan karena perbuatannya, tapi karena ketulian, kebutaan dan kebisuannya. Ibarat air, mereka suci, tetapi tidak mensucikan (thahir ghairu muthahhir).

Tapi ada yang lebih parah dari ini, yaitu mereka yang gemar mencemari kesuciannya sendiri. Kelahiran yang fitri telahmereka kotori dengan prilaku menyimpang. Bila hal itu dibiarkan, maka akan menjadi kebiasaan-kebiasaan. Dan setiap kebiasaan pada akhirnya akan dianggap kewajaran. Bagi yang tidak sadar, kewajaran menjadi identik dengan kebenaran. Dan prinsip ini pernah menjadi pegangan hidup Adolf Hitler. Dalam salah satu ungkapannya ia berkata, “Kesalahan yang diulang-diulang dapat menjadi suatu yang dibenarkan“.

Ibarat air, orang seperti itu telah najis. Kehadirannya menjadi penyebab bencana, yang dapat, membunuh hati nurani banyak manusia.

Tiga tipologi air di atas ada di setiap masyarakat, bangsa dan negara. Pertanyaannya, dalam kategori manakah kita berada?

Sumber : Buletin Mimbar Jum’at, No 17, Th. XXII, 25 April 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar